MAKALAH
TELAAH KURIKULUM
SMA
TAHUN 1984
diajukan
guna memenuhi tugas kelompok matakuliah
Telaah
Kurikulum dan Telaah Buku Teks Sekolah Kelas B
Dosen Pengampu: Dr. Nurul Umamah,
MPd.
Oleh
Bidayatul Hidayah 150210302062
Khusnul Khotimah
150210302078
Sungkar Pratama 120210302053
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2016
PRAKATA
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memeberikan ridho dan karuniaNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Telaah Kurikulum SMA
Tahun 1984”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok matakuliah Telaah
Kurikulum dan Telaah Buku Teks Sekolah kelas B Universitas Jember.
Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr.
Nurul Umamah, MPd., selaku Dosen Pengajar matakuliah Telaah Kurikulum dan
Telaah Buku Teks Sekolah Universitas Jember yang telah memberi kami tugas.
2. Rekan-rekan
kelompok Kurikulum SMA yang telah sumbangsih pemikiran dalam penyelesaian
makalah ini.
Penyusun
juga menerima segala kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya,
penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi khasanah keilmuan.
Jember, Maret 2016
Kelompok
Kurikulum SMA Tahun 1984
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan
pendidikan nasional serta tujuan instruktional dari lembaga pendidikan
masing-masing dan juga kesesuain dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah,
satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh
satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang kami jadikan permasalahan adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
sejarah terbentuknya kurikulum 1984?
2.
Apa tujuan dari
kurikulum 1984?
3.
Bagaimana
karakteristik kurikulum 1984?
4.
Bagaimana isi
kurikulum 1984?
5.
Apa saja ruang
lingkup kurikulum 1984?
6.
Bagaimana posisi
mata pelajaran sejarah?
7.
Bagaimana metode
pembelajaran pada kurikulum 1984?
8.
Bagaimana
evaluasi kurikulum 1984?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini :
1.
Untuk memenuhi
tugas mata kuliah telaah kurikulum dan buku teks sekolah semester 2 jurusan IPS
program studi pendidikan sejarah.
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah
sebagai berikut :
1.
Untuk memberi
pengetahuan baru bagi kami sebagai penyusun tentang kurikulum SMA terutama
kurikulum 1984
2.
Untuk memberi
pengetahuan baru buat temen-temen program studi pendidikan sejarah tentang
kurikulum 1984
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Kurikulum SMA 1984
Kurikulum IPS tahun
1984 pada hakikatnya hanya menyempurnakan atau memperbaiki kelemahan-kelemahan
Kurikulum 1975. Ditinjau dari segi pendekatan (metodologi) pembelajaran,
kurikulum IPS tahun 1984 menggunakan pendekatan integratif dan struktural untuk
IPS SMA dan pendekatan disiplin terpisah untuk SMA. Sedangkan pendekatan IPS
untuk SD lebih mirip menggunakan integratif.
Adanya berbagai perkembangan baru dalam masyarakat dan dunia
pendidikan menyebabkan pada tahun 1984 Pemerintah mengganti Kurikulum SMA 1975
dengan Kurikulum SMA 1984. Keberlakuan Kurikulum SMA 1984 berdasarkan Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983
tentang perlunya perbaikan Kurikulum SMA 1975 disebabkan adanya kebijakan
tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; penyesuaian tujuan dan struktur
program; pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik; pembelajaran yang mengarah kepada belajar
tuntas; dan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa
kini dan masa mendatang. (Dokumen Kurikulum 1975: Landasan, Program, dan
Pengembangan, halaman 2).
Selain disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dinyatakan
dalam keputusan menteri di atas, penggantian ini disebabkan adanya berbagai
faktor yang bersifat eksternal atau makro. Faktor eksternal atau makro adalah
faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, ilmu yang berkembang di
masyarakat. Perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut menyebabkan
terjadinya kesenjangan antara “program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat
dan pembangunan” (Kurikulum 1984 SMA: Landasan, Program, dan Pengembangan: hal
1).
Perubahan Kebijakan Pendidikan ketika suasana politik sudah
lebih kondusif, MPRS sudah diganti dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
yang anggotanya terdiri atas anggota DPR, perwakilan daerah, dan perwakilan
golongan/profesi. Dalam sidang tahun 1978 di bawah pimpinan Adam Malik sebagai
ketua didampingi oleh wakil ketua yang terdiri atas K.H. Masykur, R. Kartidjo,
H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR menghasilkan TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA)
Ketiga. Keadaan negara pada waktu itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana
dinyatakan dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan
G-30-S/PKI pada tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rakhmat Tuhan
Yang Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan Rakyat pada landasan
Falsafah Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-sungguh telah
berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang ekonomi maupun di
bidang politik, untuk selanjutnya melakukan serangkaian Pembangunan Nasional
yang harus dilaksanakan secara terus-menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu,
bertahap dan berencana, sebagai satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan
serta mencapai tujuan Nasional”.
Dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tujuan pendidikan dirumuskan
sesuai dengan nilai kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila, dan bukan
pada program politik atau ekonomi pemerintah semata. TAP MPR nomor IV/MPR/1978
menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk ”meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”. Rumusan tujuan pendidikan
dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 ini
lebih sederhana tetapi idealisme bahwa pendidikan adalah untuk menghasilkan
manusia yang dicita-citakan oleh bangsa masih terpelihara. Selain merumuskan
tujuan pendidikan nasional, TAP MPR nomor IV/MPR/1978 memutuskan pula tentang
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila.
Dalam bagian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, Sosial, Budaya ditetapkan bahwa “dalam rangka melaksanakan pendidikan
nasional perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan
pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat”. Selanjutnya ditetapkan
“Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila dan unsur-unsur yang
dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi
muda dimaksudkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai universitas,baik negeri maupun swasta”. Ketetapan ini tentu
saja membawa konsekuensi adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam kurikulum dan tentu saja
termasuk kurikulum SMA.
Rumusan yang sama kemudian digunakan ketika lima tahun
kemudian MPR menghasilkan TAP MPR nomor II/MPR/1983. Lima tahun kemudian yaitu
pada tahun 1983 MPR kembali melakukan sidang lima tahunan sebagai awal dari
sidang MPR baru yang terpilih dari hasil pemilihan umum. Pada tahun 1983 itu
yang menjadi Ketua MPR adalah H. Amir Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis
Suhud, Haji Amir Murtono, SH, Drs. Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis,
dan H. Soenandar Prijosoedarmo. Tap tentang
GBHN berubah nomornya dari IV menjadi II yaitu TAP MPR nomor II/MPR/1983.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas rumuan tujuan pendidikan nasional dalam
TAP MPR nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR nomor IV/MPR/1978 yaitu “pendidikan nasional berdasarkan
atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
Tujuan Institusional SMA Berdasarkan ketentuan yang
tercantum dalam dokumen kurikulum tentang Landasan, Program, dan Pengembangan
maka terjadi perubahan tujuan institusional SMA. Penekanan pada menghasilkan
manusia pembangunan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional menjadi
kepedulian utama pendidikan SMA selain memberikan bekal untuk melanjutkan studi
dan bekerja di masyarakat. Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan
di SMA selalu menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan
dengan model “comprehensive school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum.
Pemikiran demikian memang dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah
sistem persekolahan Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah
kejuruan sehingga SMA harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan
vokasional tersebut. Berikut adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang
disebutkan di atas. Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan
mendidik siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia
yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sekolah
Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan yang
diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan
yang lebih tinggi. Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan
memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di masyarakat,
khususnya bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SMA.
Pikiran Pokok Kurikulum SMA 1984 Kurikulum SMA 1984
dikembangkan sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975 berdasarkan tiga
pertimbangan yaitu politik, perkembangan sosial, dan akademik. Perubahan dalam
kebijakan politik ditetapkan oleh TAP MPR nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan
adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib di
semua jenjang dan jalur pendidikan menyebabkan kurikulum 1975 harus diubah untuk
menampung keputusan politik tersebut. Ketetapan MPR adalah suatu keputusan
politik yang lebih tinggi bahkan dari keputusan pada tingkat presiden apalagi
menteri. Secara politis dan hukum ketatanegaraan, Ketetapan (TAP) MPR merupakan
perwujudan dari suara rakyat Indonesia. Secara operasional TAP MPR 1983
tersebut dijabarkan dalam Keputusan Menteri nomor 0461/U/1983 tertanggal 22
Oktober 1983 yang menyatakan perlunya perbaikan kurikulum dan perbaikan
tersebut harus mencakup:
1.
Pelaksanaan Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa
2.
Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang
berpola Program Inti dan programpilihan.
3.
Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian
antara aspek kogniti, afektif, danpsikomotorik.
4.
Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas
dan disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik.
5.
Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk
memenuhi kebutuhan lapangankerja masa kini mau pun masa mendatang.
Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum
adalah hasil evaluasi makro terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan itu. Perkembangan kehidupan
yang mulai memanfaatkan teknologi informasi, perkembangan kehidupan politik
yang sudah mulai tidak lagi sensitif terhadap bahaya komunisme, menyebabkan
kurikulum SMA 1975 dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan. Perkembangan lain yang
cepat dalam masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi menghendaki
adanya berbagai penyempurnaan terhadap Kurikulum SMA 1975. Faktor ketiga yang
menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi terhadap
kurikulum 1975 yang dilakukan pada tahun 1981. Hasil evaluasi tersebut
menunjukkan “belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata pelajaran dengan
taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu beratnya materi pelajaran untuk
beberapa mata pelajaran tertentu. Dengan demikian pengembangan kurikulum SMA
(Sekolah Menengah Umum Pertama) perlu berorientasi pada landasan pada
pendekatan proses belajar-mengajar yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan
untuk memproses perolehannya” (Dokumen Kurikulum 1984:1). Kemampuan untuk memproses
perolehan tersebut dikenal dengan nama Ketrampilan Proses. Pendekatan
Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan yang dikenal dengan nama Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMA 1975.
Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki langkah-langkah
yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran aktif peserta didik
dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Melalui
pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam belajar dan
mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan merumuskan masalah yang
diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari berbagai sumber informasi
yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan, mengolah informasi yang telah dikumpulkan dari sumber, dan merekonstruksi
hasil olahan informasi sehingga menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta
didik). Sayangnya, pendekatan Ketrampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA
tidak terlaksana dengan baik di lapangan.
Ketidakberhasilan pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga
CBSA, di lapangan disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama
adalah kemampuan guru yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan
tersebut. Faktor kedua, fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan
sumber lainnya tidak tersedia di sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten
kurikulum yang dianut masih terpaku pada pengertian tradisional dan hanya
menganggap pengetahuan sebagai konten kurikulum. Ketrampilan yang perlu
dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk mampu memproses informasi tidak
dianggap konten kurikulum dan tidak diajarkan pada peserta didik. Dalam keadaan
demikian, peserta didik tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya
untuk merumuskan pertanyaan/masalah, mencari dan mengumpulkan sumber informasi,
mempelajari sumber informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan,
mengolah informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk
menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi.
2.2. Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum 1984 terbagi dalam beberapa pokok tujuan,
sebagai berijut:
1.
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan
pendidikan nasional dalam TAP MPR nomor II/MPR/1983 yaitu “pendidikan nasional
berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
2.
Tujuan Institusional
Tujuan
Institusional SMA berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kurikulum
tentang Landasan, Program, dan Pengembangan maka terjadi perubahan tujuan
institusional SMA. Penekanan pada menghasilkan manusia pembangunan, sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kepedulian utama pendidikan SMA
selain memberikan bekal untuk melanjutkan studi dan bekerja di masyarakat.
Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan di SMA selalu menempatkan
lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan dengan model “comprehensive
school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum. Pemikiran demikian memang
dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah sistem persekolahan
Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah kejuruan sehingga SMA
harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan vokasional tersebut. Berikut
adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang disebutkan di atas:
Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan mendidik
siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia yang
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan
bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke
lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan
bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di masyarakat, khususnya bagi
siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SMA.
3. Tujuan Kurikuler
Tujuan kulikuler adalah tujuan yang
ingin dicapai oleh setiap bidang studi. Tujuan ini dapat dilihat dari GBPP
(Garis – garis Besar Program Pembelajaran) setiap bidang studi. Tujuan
kulikuler merupakan penjabaran dari tujuan institusional sehingga kumulasi dari
setiap tujuan kulikuler ini akan menggambarkan tujuan istitusional. Artinya,
semua tujuan kulikuler yang ada pada suatu lembaga pendidikan diarahkan untuk
mencapai tujuan institusional yang bersangkutan.
4. Tujuan Instruksional / Tujuan Pembelajaran
Tujuan instruksional adalah tujuan yang ingin dicapai
dari setiap kegiatan instruksional atau pembelajaran. Tujuan ini seringkali
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
a)
Tujuan
Instruksional (tujuan pembelajaran) Umum
Tujuan
instruksional umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya masih umum dan
belum dapat menggambarkan tingkah laku yang lebih spesifik. Tujuan
instruksional umum ini dapat dilihat dari tujuan setiap pokok bahasan suatu
bidang studi yang ada di dalam GBPP.
b)
Tujuan
Instruksional (tujuan pembelajaran) Khusus
Tujuan
instruksional khusus merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum.
Tujuan ini dirumuskan oleh guru dengan maksud agar tujuan instruksional umum
tersebut dapat lebih dispesifikasikan dan mudah diukur tingkat ketercapaiannya.
Adapun tujuan umum dari kurikulum 1984 sebagai
brikut :
1.
Berorientasi pada hasil
belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
2.
Penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
3. Sumber belajar bukan hanya
guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
4. Penilaian menekankan pada
proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatukompetensi.
5. Meningkatkan kesadaran dan
wawasan peserta diaik akan status, hak, dan kewajiban dalam kehidipan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kualitas dirinya
sebagai manusia.
6. Meningkatkan sensitifitas,
kemampuan mengekspresikan, dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
7.
Meningkatkan potensi fisik
serta menanamkan sportifitas dan kesadaran hidup sehat.
2.3. Karakteristik
Kurikulum
Adapun karkteristik kurikulum 1984 sebagai
berikut :
1) Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang berpola Program
Inti dan atau program pilihan
2) Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara aspek kogniti,
afektif, dan psikomotorik harus saling berkaitan.
3) Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas dan disesuaikan
dengan kecepatan belajar masing-masing
anak didik.
4) Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk memenuhi
kebutuhan lapangan kerja masa kini mau pun masa mendatang.
5) Kurikulum 1984 mengusung
process skill approach. belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan.
2.4. Isi Kurikulum
Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMA 1984 Struktur
Kurikulum SMA 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMA 1975 yaitu terdiri dari
Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Meski pun
demikian, beban belajar setiap semester berbeda karena Kurikulum SMA 1984
menggunakan pemikiran bahwa beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih
rendah dibandingkan kelas sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III
36/38).
Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMA
1975 dengan Kurikulum SMA 1984 yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan
pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan Fisika.
Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa didasarkan pada TAP
MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor
0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR nomor II/MPR/1983 bidang studi ini adalah
bagian dari Pendidikan Pancasila bersama-sama dengan Pendidikan Moral
Pancasila. Dengan demikian maka bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa adalah bagian dari pendidikan kewarganegaraan dan bukan kajian akademis.
Oleh karena itu maka Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dikelompokkan sebagai
bidang studi dan Program Pendidikan Umum.
Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa
materi utama sebagai bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah
nasional yang dimulai dengan kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya,
keberadaan bidang studi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan
setiap warganegara memiliki pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan
perkembangan kehidupan bangsanya untuk membentuk memori kolektif sebagai
warganegara, ideologi dan tatanegara, bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia.
Materi sejarah dalam Program
Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan
Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi persyaratan tersebut. Oleh
karena itu bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa bukan dianggap
sebagai pendidikan akademis sejarah tetapi sebagai pendidikan kewargaannegara. Konsep
Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara sangat menarik
tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh. Jika Program
Pendidikan Umum dimaksudkan sebagai pendidikan kewargaannegara, pernah
dikembangkan maka bahasa Indonesia dan Geografi Indonesia seharusnya
dimaksukkan ke dalam kelompok Program Pendidikan Umum. Apabila materi
pendidikan Geografi Indonesia dikemas dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) bersamaan dengan materi Sejarah Indonesia maka sudah sepantasnya
jika IPS menjadi bagian dari kelompok Pendidikan Umum sebagaimana ditetapkan
dalam Dasar dan Tujuan Pendidikan yang tercantum dalam Buku I tentang Ketentuan
Pokok. Ide kurikulum tersebut tidak diterjemahkan secara utuh dalam struktur kurikulum
dan pengelompokkan bidang studi.
Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program
Pendidikan Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara
walau pun terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi IPS sebagaimana
dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam GBPP
disebutkan bahwa bidang studi IPS bertujuan “untuk mengembangkan cara berpikir
kritis dan kreatif siswa dalam melihat hubungan manusia dengan lingkungan
hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut jelas memperlihatkan posisi bidang kajian
akademis yaitu kemampuan berpikir dalam melihat fenomena bidang kajian
(hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya). Warna akademik yang dinyatakan
dalam tujuan bidang studi IPS bersesuaian dengan pendekatan yang dirumuskan
dalam dua pendekatan yaaitu:
(1)
“pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan
(2)
“pendekatan struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari
generalisasi secara luas dan mendalam”.
Terlepas dari adanya konflik dalam berpikir antara
pendekatan integrati dan pendekatan struktural tetapi kedua pendekatan tersebut
merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin ilmu. Artinya, IPS dalam
posisi sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang
dirancang sebagai pendidikan akademis, bukan pendidikan kewargaannegara (bukan
kewarganegaraan yang menjadi label mata pelajaran). Landasan berpikir demikian
menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa dalam
kelompok Program Pendidikan Umum merupakan sesuatu yang wajar walau pun
menimbulkan masalah dalam ide kurikulum tentang pendidikan kewargaannegara.
Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang studi
Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua yaitu biologi dan fisika
dengan masing-masing beban belajar berbeda, mencerminkan adanya tarik ulur
dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (science). Secara filosofis tampak ada
tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran perenialisme yang
memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang terintegrasi dengan label.
Berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka yang
beraliran esensialisme yang kokoh dalam posisi bahwa pendidikan disiplin ilmu
harus sesuai dengan kaedah disiplin ilmu termasuk nama mata pelajaran. Menurut
pandangan perenialisme pendidikan biologi, fisika, kimia dapat disatukan dalam
sebuah organisasi konten kurikulum yang dinamakan IPA (science). Bagi pengikut
esensialisme penggabungan dengan label seperti IPA sedangkan bagi pengikut
perenialisme penggabungan seperti IPA adalah sesuatu yang wajar dan dapat
diterima. Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA
dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi
esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai
penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak merinci
mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur Program dan
Bidang Studi Kurikulum SMA 1984. Memang sangat disayangkan ketiadaan informasi
mengenai proses yang menyebabkan terjadinya keputusan tersebut untuk lebih
dapat memahami ide kurikulum pengembangan bidang studi IPA, apalagi hal
tersebut tidak terjadi dalam bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide kurikulum
yang cukup mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS yaitu bidang
studi IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach” sedangkan IPS
menggunakan pendekatan “integrated approach”.
Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum
dan Akademis, Kurikulum SMA 1984 tidak lebih sederhana dibandingkan Kurikulum SMA
1975. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA
yang terbagi dua atas Biologi dan Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam
Kurikulum SMA 1984 menjadi dua lebih banyak dari Kurikulum SMA 1975.
Kesederhanaan Kurikulum SMA 1984 dibandingkan Kurikulum SMA
1975 hanya tejadi pada mata pelajaran Ketrampilan yang hanya mengenal satu
jenis dibandingkan dua jenis pada Kurikulum SMA 1975 (pilihan wajib dan bebas).
Dalam Buku I tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan bahwa mata
pelajaran ketrampilan diarahkan pada ketrampilan yang terkait dengan
perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh karena
itu disarankan ketrampilan untuk perkotaan dalam bidang perbengkelan otomotif
dan elektronika karena semakin banyaknya mobil dan pemakaian komputer.
Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan ketrampilan dalam bidang
bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa, perkoperasian, dan penyuluhan
pertanian. Prinsip yang mirip, walau pun tidak sama, dengan kebijakan tentang
bidang studi IPA diterapkan juga untuk IPS. Jika dalam bidang studi IPA
struktur kurikulum secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi yaitu
Biologi dan Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam Buku II
Ilmu Pengetahuan Sosial Kurikulum SMA 1984 disebutkan “bidang studi Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang
terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang studi. Pelaksanaan
Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah waktu yang tersedia untuk
Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak 1 jam pelajaran (sic!) per minggu
dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan kelas III” (Buku II, 1986:4).
Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja
terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan sebagai
suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS yaitu antara definisi IPS
dengan ketentuan menjadikan sejarah sebagai sub-bidang studi dengan GBPP yang
terpisah dari GBPP IPS yang berisikan
materi geografi, kependudukan, ekonomi, sosiologi dan anthropologi. Kiranya
adanya pengaruh pengambil kebijakan kurikulum yang cukup dominan dalam bidang
sejarah dan menginginkan pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan
esensialisme menyebabkan terjadinya keputusan kurikulum yang
demikian.Penyelesaian dua GBPP yaitu IPS dan Sejarah tentu saja menyebabkan
persoalan konseptual yang cukup mengganggu mengenai pendidikan IPS yang menjadi
komponen materi Kurikulum SMA 1984. Hal yang terjadi pada bidang studi IPS
dalam inkonsistensi antara pengertian dan pemecahan subbidang studi tidak
terjadi pada bidang studi IPA karena GBPP IPA tidak menyebutkan IPA sebagai
suatu bidang studi terpadu.
Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran
ketrampilan tentu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
diri dalam berbagai bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin
dimaksukinya setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMA dan tidak
melanjutkan pada pendidikan di atasnya.
Perbedaan mata pelajaran ketrampilan yang disarankan untuk
lingkungan pendidikan yang berbeda adalah kebijakan yang mengarah kepada
diversifikasi kurikulum.Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan menjadi suatu
yang didukung oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan tentang mata
pelajaran ketrampilan dalam Kurikulum SMA 1984, sebagaimana kurikulum
sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban penyelenggara
pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama pemerintah) untuk
melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata pelajaran pilihan, apabila
dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Sayangnya, kenyataan menunjukkan
bahwa SMA tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian, dan ketrampilan yang
memadai sebagaimana halnya dengan biaya operasional dan pemeliharaan. Kebijakan
kurikulum yang tidak didukung oleh kebijakan pengadaan fasilitas belajar
berkelanjutan sampai masa kini menyebab sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan
siap untuk melaksanakan kurikulum. Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin
melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam dokumen kurikulum (curriculum as
plan) menjadi suatu realita kurikulum (implemented, observed, atau taught
curriculum).
Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMA 1975 dan
sebelumnya dengan Kurikulum SMA 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata
pelajaran antar semester (alternate semester offering). Dalam konsep ini suatu
mata pelajaran tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap
semester. Kurikulum SMA 1975 menerapkan konsep penawaran antar semester untuk
bidang studi ketrampilan pilihan terikat dan pilihan bebas sedangkan untuk
Kurikulum SMA 1984 penawaran antar semester diberlakukan untuk bidang studi
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Walau pun keduanya menerapkan konsep
antar semester, konsep penawaran antar semester untuk bidang studi Ketrampilan
Terikat dan Ketrampilan Pilihan (Kurikulum SMA 1975)
memiliki perbedaan dengan penawaran antar semester bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (Kurikulum SMA 1984). Penawaran antar semester dalam
Kurikulum SMA 1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Ketrampilah
Pilihan Terikat dan Ketrampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran
ketrampilan yang dapat diselesaikan dalam satu semester sebagai satu kesatuan
utuh dan tidak berlanjut pada semester lain. Konsep demikian banyak digunakan
dalam kurikulum perguruan tinggi karena hakekat materi satu mata kuliah yang
sepenuhnya dikemas secara utuh dalam Sistem Credit System (SKS) sehingga materi
satu semester suatu mata kuliah merupakan satu kesatuan utuh (terkecuali mata
kuliah prasyarat) dan tersedianya banyaknya mata kuliah pilihan pengganti mata
kuliah yang tidak ditawarkan pada semester terkait. Kurikulum SMA 1984 tidak
menggunakan prinsip di atas dalam mengembangkan bidang studi Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa walau pun ditawarkan dalam model antar semester. Sebagaimana
bidang studi lainnya, materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
semester 4 adalah kelanjutan semester 2 dan materi semester 6 adalah kelanjutan
materi semester 4 dan 2. Kembali ketiadaan dokumen mengenai proses pengembangan
ide kurikulum dan dalam hal ini berkenaan dengan ide kurikulum bidang studi
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa menyebabkan kesulitan kita memahami ide
kurikulum yang digunakan.
Suatu hal yang jelas bahwa materi bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa semester 2 berkaitan dengan materi semester 4 dan
materi semester 6 sehingga penawaran pembelajaran yang bersifat selang semester
(alternate) semester mengundang masalah yang berkaitan dengan prinsip tata urut
(sequence) dalam pengembangan materi kurikulum dan dalam proses pembelajaran.
Memang harus diakui bahwa untuk unit kelas atau tahun akademik penawaran materi
pembelajaran yang bersifat selang semester mungkin bukan masalah besar tetapi
harus pula diingat bahwa kurikulum bukan berkenaan dengan kelas tapi sekolah
dan keberhasilan penguasaan materi pembelajaran bersifat menyeluruh.
Penilaian hasil belajar bidang studi yang digunakan
Kurikulum SMA 1984 dalam bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
tidak sama dengan kurikulum perguruan tinggi yang menggunakan SKS. Suatu mata
kuliah diakhiri dengan penilaian hasil belajar yang menentukan keberhasilan
seorang mahasiswa dalam mata kuliah tersebut dan tidak lagi terkait dengan mata
kuliah lain yang akan dikontrak oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kebijakan
kurikulum di SMA tidaklah demikian karena materi bidang studi Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa yang dipelajari di semester 2 dan 4 akan masuk dalam
ujian akhir sekolah. Oleh karena itu sistem penawaran selang semester
(alternate semester) tidak sesuai dengan prinsip kurikulum tingkat persekolahan.Pertimbangan
yang mungkin digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang bersifat selang
semester untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah beban
belajar keseluruhan per semester. Ada pertimbangan yang cukup kuat agar beban belajar
setiap semester tidak melebihi 38 jam untuk kelas I, 37 jam untuk kelas II, dan
36 jam untuk kelas III sehingga beban belajar keseluruhan Kurikulum SMA 1984
sama dengan Kurikulum SMA 1975 yaitu 222 jam atau 234 bagi sekolah yang
memberikan pelajaran Bahasa Daerah.
Pertimbangan mengenai beban belajar semester ini berakibat
pada alokasi beban belajar bidang studi Matematika. Bidang studi Matematika
menggunakan alokasi beban belajar yang tidak sama antara semester ganjil
(1,3,dan 5) dengan semester genap (2,4, dan 6). Di setiap semester ganjil
dimana Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak ditawarkan maka bidang studi
Matematika memiliki beban belajar 6 sedangkan di setiap semester genap ketika
bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ditawarkan dengan beban
belajar 2 jam maka beban belajar bidang studi Matematika berkurang dari 6
menjadi 4 jam. Akibatnya, distribusi jam belajar bidang studi Matematika
Kurikulum SMA 1984 berbeda dari Kurikulum SMA 1975 yang memiliki beban belajar
sama di setiap semester yaitu masing-masing 5 jam.
Dalam pemikiran kurikulum beban belajar adalah sesuatu yang
harus dipertimbangkan secara serius. Peserta didik yang terlalu lelah tidak
mungkin menghasilkan kualitas belajar yang baik. Banyak studi yang menunjukkan
bahwa kelelahan merupakan faktor mediasi (mediating variable) yang berpengaruh
terhadap unjuk kerja seseorang.Meski pun demikian, pemikiran bahwa beban
belajar yang berbeda antara kelas I, II, III cukup mengundang permasalahan jika
pengurangan beban belajar dilakukan hanya untuk mempersiapkan peserta didik
untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Oleh karena peserta
didik yang akan menempuh ujian pada jamaknya harus memiliki jam belajar yang
lebih banyak dan intensif dibandingkan sebelumnya. Pikiran baru yang dikembangkan
oleh Kurikulum SMA 1984 adalah materi muatan lokal. Muatan lokal dalam
Kurikulum SMA 1984 dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada sekolah untuk
mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan masyarakat setempat. Pemikiran
tentang materi muatan lokal didasarkan pada pemikiran bahwa kurikulum harus
relevan dengan masyarakat yang dilayani kurikulum.Pengembangan materi nasional
kurikulum untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, berlaku untuk
seluruh lapisan masyarakat dan komunitas yang berdiam di mana pun di Indonesia
bahkan di luar negeri.
Sedangkan kebutuhan masyarakat setempat yang dilayani
kurikulum harus diberi alokasi dan program dalam bentuk kurikulum muatan lokal.
Dalam kebijakan kurikulum mengenai materi muatan lokal ditentukan bahwa
keputusan mengenai mata pelajaran muatan lokal ditetapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan masukan dari Kantor Departemen
Kabupaten dan Kotamadya. Berdasarkan pertimbangan kepentingan daerah kabupaten
dan kotamadya maka Kantor Wilayah Departemen.
Pada umumnya penetapan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan untuk materi muatan lokal adalah bahasa daerah dan kesenian. Selain
itu mata pelajaran materi muatan lokal lainnya berkenaan dengan kemampuan
vokasional yang berkenaan dengan pekerjaan yang banyak di masyarakat seperti
pertanian, peternakan, perikanan, dan jasa. Kebijakan mengenai materi muatan
lokal yang diperkenalkan Kurikulum SMA 1984 sebenarnya dapat memberikan
orientasi baru kurikulum. Dengan adanya materi muatan lokal, terlebih materi
yang berkenaan dengan ketrampilan vokasional, Kurikulum SMA 1984 memberikan
kemungkinan kepada tamatan SMA untuk memasuki dunia kerja dengan bekal
kemampuan vokasional yang cukup sehingga dunia kerja mendapatkan tenaga kerja
yang siap untuk melaksanakan pekerjaannya. Adanya ketetapan mengenai bahasa dan
kesenian daerah sebagai mata pelajaran dalam muatan lokal memberikan dasar
pendidikan yang kuat karena peserta didik tidak tercabut dari akar budaya
masyarakat darimana mereka berasal. Konsekuensi dari materi muatan lokal ini
tentu saja sekolah harus melakukan kajian kebutuhan (need analysis) masyarakat.
Kajian tersebut untuk melihat ketersediaan vokasi yang memerlukan tenaga kerja
dan kemampuan yang diperlukan oleh vokasi tersebut. Kajian kebutuhan ini
penting agar kurikulum tidak menyediakan tenaga kerja di bidang vokasi yang
sudah jenuh atau dengan ketrampilan yang tidak sesuai dengan tuntutan vokasi. Untuk
mampu melakukan kajian kebutuhan (need analysis) maka bagian kurikulum di
setiap sekolah atau yang bertanggungjawab dalam mengembangkan materi muatan
lokal harus terlatih untuk melalukan kajian kebutuhan.
Konsekuensi lain dari kebijakan tentang muatan lokal
terutama berkenaan dengan mata pelajaran yang sifatnya mengembangkan
ketrampilan vokasional tertentu, sekolah memerlukan fasilitas belajar yang
cukup dan dari jenis yang digunakan di masyarakat. Artinya, sekolah memerlukan
dana khusus untuk pengadaan fasilitas belajar bagi vokasional tertentu karena
sebelumnya SMA tidak dilengkapi dengan fasilitas demikian. Ketersediaan
fasilitas belajar untuk materi muatan lokal yang berorientasi vokasional
merupakan masalah besar bagi pemerintah. Dana yang tersedia untuk itu dapat
dikatakan terbatas sedangkan kebijakan materi muatan lokal dalam Kurikulum SMA
1984 bersifat nasional.
Adapun Alokasi Waktu
& Struktur Kurikulum
adalah sebagai berikut:
Komponen
(Kelas X)
|
Alokasi waktu berdasarkan BSNP
|
Alokasi waktu SMAP MERDEKA SOREANG
|
||
Sem. I
|
Sem. II
|
Sem. I
|
Sem.
II
|
|
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2. Pendidikan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3. Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4. Bahasa Inggris
|
4
|
4
|
4
|
4
|
5. Matematika
|
4
|
4
|
4
|
4
|
6. Fisika
|
2
|
2
|
2
|
2
|
7. Biologi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
8. Kimia
|
2
|
2
|
2
|
2
|
9. Sejarah
|
1
|
1
|
1
|
1
|
10. Geografi
|
1
|
1
|
1
|
1
|
11. Ekonomi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
12. Sosiologi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
13. Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
2
|
14. Pendidikan Jasmani Olahraga
dan Kesehatan
|
2
|
2
|
2
|
2
|
15. Teknologi Informasi dan
Komunikasi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
16. Bahasa Asing / Keterampilan
- Bahasa Jepang
|
2
|
2
|
2
|
2
|
B. Muatan Lokal
- Bahasa Sunda
- PLH
- Pemrograman Dasar **)
|
2
|
2
|
1
1
2
|
1
1
2
|
C. Pengembangan Diri ***)
- Imtaq / Paskibra / Bulu
Tangkis / Voli / Sepak Bola & Futsal / BSI / MOC / Nasyid & Paduan
Suara
|
2
|
2
|
2
|
2
|
JUMLAH
|
38
|
38
|
40
|
40
|
Komponen
(Kelas XI-XII-IPS)
|
Alokasi waktu berdasarkan BSNP
|
Alokasi waktu SMAP MERDEKA SOREANG
|
||
Sem. I
|
Sem. II
|
Sem. I
|
Sem. II
|
|
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan Agama
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2. Pendidikan Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3. Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4. Bahasa Inggris
|
4
|
4
|
4
|
4
|
5. Matematika
|
4
|
4
|
4
|
4
|
6. Sejarah
|
3
|
3
|
3
|
3
|
7. Geografi
|
3
|
3
|
3
|
3
|
8. Ekonomi
|
4
|
4
|
4
|
4
|
9. Sosiologi
|
3
|
3
|
3
|
3
|
10. Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
2
|
11. Pendidikan Jasmani Olahraga
dan Kesehatan
|
2
|
2
|
2
|
2
|
12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
   13. Bahasa Asing / Keterampilan
- English Converation
|
2
|
2
|
2
|
2
|
B. Muatan Lokal
- Pemrograman Dasar **)
|
2
|
2
|
3
|
3
|
C. Pengembangan Diri ***)
- Imtaq / Paskibra / Bulu
Tangkis / Voli / Sepak Bola & Futsal / BSI / MOC / Nasyid & Paduan
Suara / B.Jepang
|
2
|
2
|
2
|
2
|
JUMLAH
|
39
|
39
|
40
|
40
|
2.5. Ruang Lingkup
Kurikulum
Adapun ruang lingkup kurikulum 1984 sebagai berikut :
a. Sekolah
Peran sekolah dalam
mengembangkan perserta didik yang berakarakter dan berdaya saing sangat berpanguruh
dalam faktor fisiologi/lingkungan, dimana suatu sekolah harus menciptakan
suasana pembelajaran yang efektif dan komukatif, agar dapat terciptanya peserta
didik yang berkarakter positf. Lingkungan sekolah yang negatif bisa sangat
berpengaruh dalam perkembangan psikologis siswa yang akan berdampak buruk
terhadap pendidikan.
b. Pendidik
Tugas-tugas
profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya
diketahui oleh anak.
c. Siswa
Peran
siswa sebagai peserta didik memiliki tugas utama belajar, siswa bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri dalam bentuk kemampuan menghasilkan prestasi
yang maksimal.
2.6. Posisi Mata
Pelajaran Sejarah (IPS)
Sejarah merupakan mata pelajaran yang berdiri
sendiri Sebagai Mata Pelajaran panunjang
IPS di SMA baik di jurusan IPA maupun IPS. Selain itu dalam Kurikulum 1984 terdapat mata pelajaran Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa yang merupakan bagian dari Pendidikan Pancasila dan
Pendidikan Moral Pancasila, materi
utama bidang studi ini terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang
dimulai dengan kebangkitan perjuangan kebangsaan. Keberadaan bidang studi ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan setiap warganegara memiliki
pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan bangsanya
untuk membentuk memori kolektif sebagai warganegara, ideologi dan tatanegara,
bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia.
2.7. Metode
Pengembangan kurikulum SMA (Sekolah Menengah Umum Pertama)
perlu berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-mengajar yang
diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk memproses perolehannya” (Dokumen
Kurikulum 1984:1). Kemampuan untuk memproses perolehan tersebut dikenal dengan
nama Ketrampilan Proses. Pendekatan Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan
yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan
oleh Kurikulum SMA 1975.
Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki langkah-langkah
yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran aktif peserta didik
dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Melalui
pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam belajar dan
mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan merumuskan masalah yang
diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari berbagai sumber informasi
yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan, mengolah informasi yang telah dikumpulkan dari sumber, dan
merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga menghasilkan pengetahuan (baru
bagi peserta didik). Sayangnya, pendekatan Ketrampilan Proses sebagaimana
pendekatan CBSA tidak terlaksana dengan baik di lapangan.
2.8. Evaluasi
Keberhasilan program pembelajaran selalu dilihat dari hasil belajar yang
dicapai.
Evaluasi pembelajaran
memerlukan data tentang pelaksanaan pembelajaran dan tingkat ketercapaian tujuannya. Evaluai pembelajaran sering kali hanya
didasarkan pada penilaian aspek belajar, sementara kualitas proses pembelajaran yang
berlangsung jarang tersentuh kegiatan penilaian. Fokus penilaian adalah individu, serta fokus evaluasi adalah kelompok. Komponen evaluasi program
yang sifanya kelompok terhadap kualitas pembelajaran mencakup kinerja guru, materi
pembelajaran, metode, sarana, suasana kelas, sikap siswa, dan motivasi
dalam belajar sejarah.
Ketidakberhasilan
pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga CBSA, di lapangan disebabkan oleh
paling tidak tiga faktor. Faktor pertama adalah kemampuan guru yang tidak
terlatih untuk melaksanakan pendekatan tersebut. Faktor kedua, fasilitas
belajar yang diperlukan seperti buku dan sumber lainnya tidak tersedia di
sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten kurikulum yang dianut masih terpaku
pada pengertian tradisional dan hanya menganggap pengetahuan sebagai konten
kurikulum. Ketrampilan yang perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk
mampu memproses informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak diajarkan
pada peserta didik.
BAB
3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa :
A.
Tujuan Kurikulum SMA 1984 adalah :
1.
Berorientasi pada hasil
belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
2.
Penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
3. Sumber belajar bukan hanya
guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
4. Penilaian menekankan pada
proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatukompetensi.
5. Meningkatkan kesadaran dan
wawasan peserta diaik akan status, hak, dan kewajiban dalam kehidipan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kualitas dirinya
sebagai manusia.
6. Meningkatkan sensitifitas,
kemampuan mengekspresikan, dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
7.
Meningkatkan potensi fisik
serta menanamkan sportifitas dan kesadaran hidup sehat.
B.
Adapun karkteristik
kurikulum 1984 sebagai berikut :
Kurikulum 1984 mengusung process skill
approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
C.
Ruang Lingkup Kurikulu SMA
1984 adalah :
1.
Sekolah
2.
Peserta Didik
3.
Pendidik
3.2 Saran-Saran
Adapun saran- saran yang dapat kami
berkan sebagai berikut :
1.
Diharapkan para mahasiswa FKIP pend.Sejarah dapat
membaca makalah ini agar apat mengetahui sejarah, perkembangan, dan perubahan kurikulum dari
tahun 1975-2013.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamalik, Oemar. 2008. Pengembangan Kurikulum. Bandung:
Rosdakarya.
Sukmadinata, Nana
Saodih. 2002. Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek. Bandung: Rosdakarya.
Nasution, E. 2009. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi
Aksara.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik.
Yogyakarta: Ar-Ruzz.